etelah pematang sawah sudah siap untuk ditanami padi, tiba saatnya membuat bibit semai atau disebut dengan istilah “nampek”. Atau bisa di beli dari orang-orang yang menjual bibit semai padi. Tempat untuk menampek padi ini di pagari menggunakan plastik yang di sangga dengan bambu di tiap sisi-sisinya yang memutari luas dari bibit semaian tersebut. Bibit semai ini membutuhkan waktu kira-kira 23 hari, setelah itu bibit semai tadi baru bisa di panen dan di jual kepada para petani yang ingin membutuhkannya.
Bibit semai yang sudah di panen tadi kemudian di ikat menggunakan tali seikat-seikat atau biasa disebut dengan istilah “Sepocong”. Harga bibit semai 1 pocong rata-rata Rp. 3000. untuk sawah yang memiliki luas banon 100 memerlukan kira-kira ± 50 pocong bibit semai. Banon 100 itu = 100 ruu/100 boto = 1400 m2. 1 ruu/1 boto = 3,75 m.
Gbr. Bibit Semai Yang di pocong
ematang sawah yang sudah siap untuk ditanami padi, diukur menggunakan alat ukur dari bambu yang disebut dengan istilah “blak”. Di ukur dan di tandai dengan bibit semai yang di tancapkan lurus sampai ke ujung. Jadi para ibu-ibu petani tinggal mengikuti ukuran yang sudah dibuat tadi atau biasa di sebut dengan istilah “nguroni” dari ukuran pertama, jadi tinggal memindah blak tadi ke belakangnya dan seterusnya sampai selesai. Upah untuk ibu-ibu buruh tani untuk menanam bibit semai tiap banon 100 rata-rata Rp. 70.000. itu pin sudah mendapat jatah sarapan/makan makan pagi beserta minuman teh satu teko penuh. Banon 100 rata-rata dikerjakan oleh 4 0rang atau lebih tergantung kepada ibu-ibu tani yang telah ditunjuk untuk mengerjakannnya, apakah dia mau mengajak rekannya.
Gbr. Ibu-ibu tani
ibit semai yang sudah selesai di tanam di pematang sawah. Di airi sampai berumur kira-kira 2 bulan. Tidak hanya di airi begitu saja tapi juga di pupuk menggunakan pupuk urea dan rumput-rumput ilalang yang bersaing tumbuh dengan padi harus di bersihkan dengan cara di cabuti atau biasa di sebut dengan istilah “ndaut”. Untuk menanti hingga musim panen membutuhkan waktu 3 bulan lamanya dari mulai menanam bibit semai sampai panen tiba.
ku jadi teringat sama temanku yang dari surabaya waktu main kerumahku,
masak mau menuju kerumahmu aja sawahnya gak ada habis-habisnyakata temanku dengan heran. Mungkin dia bosan dalam perjalanan hanya melihat bentangan sawah yang luas tiada habisnya. Ya beginilah keadaan my village yang mempunyai sejuta kenangan yang tak kan pernah terlupakan. Seperti suasana pada waktu hujan di malam hari, jalanan jadi sepei karena orang-orang pada malas keluar rumah, sepi-sunyi-senyap yang terdengar hanyalah suara kodok di sawah yang saling bersahutan tepatnya berada di belakang rumahku. Bagaikan alunan orkestra yang sangat merdu sekali. Seperti pepatah “seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak hujan batu di negeri sendiri”. Jadi I love my home sweet home.
No comments:
Post a Comment