Sunday, January 24, 2010

Khayalan itu Muncul Lagi

Sakit yang tak tertahankan seperti di bor oleh mesin pembongkar jalanan beraspal rusak sudah mulai berkurang. Seperti sudah kehabisan tenaga untuk mengebor gigiku yang sudah mulai usur. Berbagai obat telah lulus sensor aku tenggak. Dari yang dosis rendah sampai dosis tinggi lumat di gerus oleh lambungku. Sampai-sampai aku tidak percaya pada apoteker yang mukanya tidak menandakan dia seperti seorang apoteker. Aku gamang menelan obat sakit gigi itu, sehingga aku memastikan dengan menanyakan temanku yang bekerja di salah satu Rumah Sakit Swasta di Surabaya, apakah benar atau salah obat yang aku minum itu. Tahukah sobat, semua obat sakit gigi itu sama semua mengandung mefenamat acid seperti obat ponstan yang kebanyakan orang beli, sampai obat termahal bernama cataflam, sungguh cantik namanya seampuh khasiatnya.

Khayalanku seminggu yang lalu muncul lagi di benakku. Suara deburan ombak terasa mengusik telingaku. Liukan air laut terpampang jelas dimataku menggoda-goda aku untuk menceburkan diri ke laut. Kakiku serasa menjekakkan di pasirnya yang berkilauan laksana berlian. Sepertinya aku harus menghapus semua khayalan tentang liburan yang sudah membuat aku stres. Hilang... Melayang begitu saja tanpa bekas.

Tepatnya hari minggu. Bayang-bayang itu muncul lagi. Tapi kali ini bukan sesosok pantai yang ada dalam pikiranku. Sobat, apakah ini yang dinamakan penyakit orang yang sudah disibukkan dengan urusan duniawi. Sehingga ingin rasanya terbebas dari deru mesin printer yang terus menelan berlembar-lembar kertas, atau bunyi mesin fax yang membuat aku jantungan karena letaknya persis berada di sampingku. Hasrat yang meletup-letup yang harus disanggupi janji-janjinya. Bayangan itu muncul dalam wujud pegunungan. Pegunungan dengan keindahan air terjun yang sangat indah. Tahukah sobat, kemana aku harus melangkah. Aku tidak harus pergi jauh-jauh untuk memenuhi ambisiku itu, cukup di kota Jombang saja, kota yang sangat kecil ini, di Wonosalam lah sebuah air terjun bertengger megah di gunung anjasmoro di desa pengajaran.

Dalama hitungan jam aku sudah berada di desa Wonosalam. Tanpa menghiraukan sakit gigiku yang baru sembuh aku menjelajah hutan Wonosalam. Melangkahkan kakiku di jalan setapak, berliku, naik, turun bahkan harus memanjat bebatuan yang tidak kecil bentuknya. Tahukah sobat, untuk ke lokasi air terjun itu harus menempuh jalan setapak sejauh 3 Km. Bayangkan itu, medannya tidak semulus yang sobat bayangkan, kadang-kadang jalan setapak itu terputus oleh sungai yang mengalir dari arah air terjun dan aku harus rela nyemplung ke air yang sangat dingin untuk melintasinya. Sungguh, petualangan sebenarnya yang aku cari selama ini.

Tanpa persiapan, tanpa bekal, bahkan tanpa air minum pun. karena semua itu langsung terlintas dibenakku begitu saja. Hari sudah sore, tapi aku juga belum sampai di lokasi air terjun. Aku kelelahan. Sewaktu berpapasan dengan pengunjung yang lainya, aku mencoba bertanya.
"masih jauh ya air terjunya?"
"masih mas, kurang separuh jalan lagi."
Pandangan mataku nanar, tubuhku goyah seakan ingin roboh dari kedua kakiku yang menyangganya. Persendian kakiku seakan mau copot, ingin lepas meloncat dari daging yang membungkus kakiku. Aku mencoba beristirahat sebentar, mencoba menghirup udara segar, udara bersih tanpa pencemaran. Demi air terjun itu aku masih sanggup untuk melangkah sejauh ini. Perasaanku, dulu, terakhir kalinya aku ke sini sewaktu SMA, jarak untuk menuju lokasi air terjun tidak sejauh ini. Ternyata sudah mengalami evolusi yang sangat sempurna dan alami. Karena aku melihat banyak pohon tumbang sampai tergerus habis di makan usia, sehingga menghalangi jalan setapak tersebut. Karena sering dilewati oleh anak muda-mudi yang berjiwa petualang, sehingga terbentuklah jalan setapak baru, yang menurutku tambah lebih jauh saja. Aku memutuskan untuk kembali pulang tanpa hasil, karena hari sudah mulai gelap, siang tergantikan oleh malam, sunyi senyap di hutan yang sangat rimbun. Tanpa penerangan di dalam hutan yang gelap pekat sama saja menyerahkan nyawaku secara cuma-cuma.

Mungkin untuk saat ini aku belum berhasil menakhlukkan rintangan untuk menuju air terjun cantik itu. Suatu saat pasti aku takhlukkan engkau. Kan kupersiapkan segalanya demi engkau. Kini aku sendiri dalam lamunanku. Aku merasakan hawa keberuntungan segera merasukiku. Entah apa itu aku juga masih belum tahu. Tapi aku merasakannya dengan jelas. Semoga itu tampak nyata dan terwujud dengan pasti. Dimensi apa lagi ini yang terjadi dalam diriku. Ini seperti sebuah paradoks bagiku. Benar sobat, aku merasakanya itu. Aku tidak bohong.

Copyright © arqu3fiq 2008-2010

Saturday, January 16, 2010

Perasaan Itu

Liburan kali ini tidak membuatku tergoda untuk pergi ke tempat wisata yang aku impikan. Hatiku galau merintih menahan sakit yang aku derita. Ternyata lagu bang maggy Z kali ini aku tentang. Mending sakit hati dari pada sakit gigi, karena sakit gigi bagiku menyiksa banget. Tengah malam terbangun gara-gara maraung-raung kesakitan. Tidur tidak nyenyak makan pun tak enak, gelisah sepanjang hari.

Ini bermula karena tambalan pada gigiku ada yang bocor. Aku mengetahuinya sejak gejala itu terjadi 3 bulan yang lalu. Aku mencoba bertahan dengan rasa itu. Tapi apa daya aku tidak bisa menghadapi semua itu. Sudahlah lupakan itu semua. Terlalu panjang untuk di uraikan. Seperti menggulung benang kusut yang tidak ketemu ujungnya.

Hari-hari aku lalui di rumah merintih seperti orang pesakitan yang tak kunjung sembuh. Mungkin lebih tepatnya seperti orang sekarat. Aku mengurung diriku di dalam kamar, bagiku seperti dalam surga peraduan yang membuat hatiku nyaman. Aku mencoba membuat kesenangan sendiri dengan online. Aku mencoba bersosialisasi dengan teman-temanku yang sudah sekian lama tidak pernah ketemu. Dengan sedikit obrolan lewat tulisan membuat hatiku senang. Sampai-sampai aku tertidur pulas tanpa meninggalkan bekas. Hanyut terbuai oleh mimpi yang telah membawaku pergi dari dunia nyata. Terbang ke alam bawah sadar yang tak mungkin di masuki tanpa harus melakukan ritual tidur. Sungguh suatu keajaiban yang sangat mustahil. Sulit di nalar oleh akal pikiran manusia.

Pagi-pagi aku terbangun oleh rasa yang membekas. Seperti makhluk alien aku bangun tampak kebingungan. Kubuka mata lebar-lebar mencoba menerka berada dimanakah gerangan. Ternyata aku masih berada dalam kamarku yang sempit dan pengap. Aku duduk sebentar sambil kupegangi kepalaku yang rasanya bagai di hantam godam. Cemut-cemut mata berkunang-kunang penyakit apa lagi yang aku derita? Sungguh tidak aku harapkan penyakit seperti ini singgah di diriku. Akankah aku mengalami siksaan seperti ini sepanjan hidupku setelah kejadian gegar otak beberapa tahun silam.

Aku mencoba jalan-jalan pagi di sekitar rumah. Menghirup udara pagi di pedesaan yang sangat segar. Udara pagi yang belum tercemar oleh gas racun pembakaran kendaraan bermotor dan asap pabrik yang keluar dari cerobong asap seperti cerutu rokok raksasa. Sungguh suatu pemandangan yang sangat alami. Bagiku masih tampak sama seperti waktu aku masih kecil dulu. Bau wangi rumput pagi hari yang bercampur embun masih tetap sama tidak ada perubahan aroma rasa. Layaknya sang ahli pencium cengkeh cita rasa tinggi.

Aku tampak melihat sesosok yang aku kenal sedang jongkok mengambili bibit padi. Dia ternyata temanku sewaktu duduk di bangku SD dulu.
"hai..." aku coba menyapa sbg awal pembuka obrolan.
"sedang apa kamu di sini" dia membalas dengan sebuah pertanyaan.
"eh...Anu aku cuman jalan-jalan ingin melihat suasana pagi hari di sawah" jawabku sekenanya. Lalu dia tersenyum saja sambil melanjutkan pekerjaanya.

Melihat kondisi dia aku merasa lebih beruntung ternyata, meski aku tidak seberuntung seperti teman-temanku lainya yang bisa mendapatkan beasiswa sekolah ke Jepang. Setidaknya aku masih bekerja di kantor dengan duduk manis di bawah pancaran suhu AC yang dingin dan menghadap komputer yang biasa aku pake bekerja, online juga tentunya. Sebaliknya dia bekerja sambil jongkok berkotor-kotor campur tanah liat yang lembek dan basah oleh genangan air sawah. Sungguh beban moral yang harus ia tanggung. Aku tidak serta merta mengejek pekerjaan itu karena sejatinya semua sudah digariskan oleh Allah S.W.T yang maha adil dan maha mengetahui. Dan aku juga tidak menyombongkan statusku sekarang karena aku paham benar di atas langit masih ada langit. Aku tidak serta merta menyombongkan posisiku saat ini. Karena semua impianku belum tercapai. Aku masih berpijak pada satu anak tangga sedangkan masih ada ribuan anak tangga yang belum aku naiki. Semoga aku bisa mencapai semua itu.

Aku melangkah untuk pulang karena sang surya sudah mulai membakar kepalaku. Meski pancarannya mengandung pro vitamin D tapi tidak untuk berlama-lama menikmati pancaran itu karena semakin siang bisa-bisa kulit menjadi terbakar. Perutku meronta-ronta, mengaduk-aduk lambungku tanda sudah mulai minta diisi. Aku meninggalkan mereka menjauh dari pandangan. Lamat-lamat dari kejauhan tampak seperti hewan pegerat yang sedang mencari makan. Hatiku ngilu merasakan semua ini. Aku mencoba bertahan untuk tidak menjadi putus asa. Apakah cobaan selanjutnya aku bisa menjalani dengan ikhlas dan penuh kesabaran. Hanya waktu yang bisa menjawab semua itu.


Copyright © arqu3fiq 2008-2010

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...