Friday, November 28, 2014

Kawah Ijen (Part 2)

Jam sudah menunjukkan pukul 23:00 WIB. Aku segera berkemas-kemas memasukkan barang-barang yang keluar terpakai. Aku mengetahui ada sesosok orang tua sedang menunggu di ruang loby hotel. Aku sudah menduga kalau orang tersebut Pak Surya. Aku coba iseng telpon ke ponselnya Pak Surya untuk memastikan kalau orang tersebut adalah Pak Surya dan ternyata benar ponsel orang tersebut berbunyi. Segera aku matikan ketika Pak Surya mengangakatnya. Lalu kemudian aku segera menyalami pak Surya sambil berkata “maaf dengan pak surya?”. “iya saya pak Surya, dek Rofiq ya?” jawab pak surya sedikit kaget.


Narsis di depan Hotel

“Sudah siap kah mari kita berangkat.” Ajak pak Surya. “Mari pak kita berangkat, kami sudah siap. Tinggal bule satunya sama si Nina masih di hotel sebelah. Saya sudah menelponnya untuk segera berkemas dan berkumpul di sini.” Tak lama kemudian mereka sudah datang dengan wajah yang segar. Sedangkan aku kepalaku masih terasa berat. Aku tidak bisa tidur. Bayanganku nanti aku bisa tidur selama perjalanan dari hotel ke Paltuding kawah Ijen. But What... dengan kelihaian cara mengemudi pak Surya di tambah jalurnya naik turun belokan tajam membuat aku terjaga selama dua jam perjalanan dari hotel ke Paltuding. Aku takut sekali membayangkan di kesunyian malam di tengah hutan dengan gaya nyopir seperti itu kemudian terjadi sesuatu dengan mobil kita, dan apa yang harus aku lakukan ber enam di dalam gelapnya hutan kebun kopi yang di kelola PT Perkebunan Nusantara XII. Aku membayangkan sendiri seperti di film-film horror. Kebanyakan nonton film horror sih.

Aku nyaris tidak tidur seharian. Tiba di Paltuding sekitar jam 2:00 WIB dini hari. Karena ini musim liburan orang-orang yang antusias ingin mendaki Kawah Ijen sudah banyak berkumpul di sini. Meski suhu udara sangat dingin tetap saja banyak yang ingin mendaki. Kalau di pikir-pikir, jam 2:00 WIB enak-enaknya tidur pulas di kasur yang empuk eh...ini malah kluyuran mendaki ke gunung termasuk saya. Hahahaha.... Aku tidak tahan dengan hawanya yang sangat dingin, jaket seadanya yang aku bawa tidak bisa membuatku hangat. Aku segera lari ke toilet karena sudah tidak tahan lagi. Dan apa yang terjadi? Damn...yang antri toilet panjang banget. Aku masuk antrian sekitar 15an orang dan cuman ada dua toilet. Terpaksa mau tidak mau harus ikut antri di barisan kalau tidak ingin ngompol di celana. Sebelum naik ada yang minum kopi dulu untuk menghangatkan tubuh atau makan sesuatu yang hangat-hangat. Tapi aku tidak sempat ingin makan/atau minum yang hangat karena waktuku aku habiskan antri di toilet tadi. Kampret...

Jalur yang curam di dinding kaldera Kawah Ijen

Setelah melakukan registrasi pendaftaran dan membayar tiket masuk Kawah Ijen seharga Rp.5.000,- untuk wisatawan lokal dan Rp.150.000,- untuk wisatawan asing. Sangat mahal bukan, perbedaannya jauh sekali harganya. Tapi tidak bagi Artur dia ngotot beli tiket lokal karena dia merasa bisa mengelabui petugasnya dengan gaya bahasa Indonesia nya yang medok. Selain itu pakaia, jaket serta masker yang membantu dalam berkamuflase. Oke...tiket sudah di beli dengan rincian tiket lokal 4 orang dan yang tiket asing 1 orang. Nina sebelumnya mengasih tahu ke Artur untuk tidak banyak omong saat masuk melewati petugas pemeriksaan karcis Kawah Ijen. Kebetulan Artur berjalan bersama aku. Saat di periksa petugas bertanya “dari mana?”. “indonesia!” jawab Artur dengan nyaring. Aku segera menyikut Artur sambil bilang ke petugasnya “dari Suroboyo mas.” Dengan logat jawaku, kemudian Artur juga mengikuti perkataanku “iyo dari Suroboyo” dengan logatnya yang medok. Si petugas masih menerka-nerka wajahnya Artur apakah turis apa bukan karena gelap tidak kelihatan mukanya akhirnya Artur lolos dari pemeriksaan. Aku berfikir kenapa petugas itu tidak menyorotkan senter ke muka dia, dan pasti akan ketahuan dari matanya yang sangat biru. Ah sudah lah...yang penting sudah lolos meski jantung berdegup kencang membayangkan apa yang terjadi jika kita ketahuan curang. Denda dua kali lipat tiket mungkin atau denda lainya yang aku tidak bisa membayangkannya lagi karena kalah oleh serangan angin yang sangat dingin pada saat itu. Nina segera menanyakan keadaan Artur tentang bagaimana pemeriksaan tadi. Aku segera menjelaskan kepada Artur lain kali kalau di tanya warga lokal tentang dari mana asalnya kamu harus jawab dari kota yang terdekat di mana saat kamu sedang berlibur ke suatu daerah. Misalnya seperti sekarang kamu harus menjawab dari Surabaya. Meski kenyataannya kamu warga asing tapi posisi tinggal kamu sementara di Surabaya, begitu ceramahku dengan badan yang mengigil kedinginan sambil jalan mendaki dengan penerangan senter kecil yang kami bawa. Si Artur menjawab okay tanda dia paham.

Seorang bapak penambang belerang

Kebayang nggak bagaimana jalanya orang bule saat mendaki? Oh My God... kalau aku di suruh lagi ke Kaah Ijen mending bareng sama orang yang seiman aja deh. Maksudnya sama-sama yang mempunyai langkah kaki pendek dan sering istirahat karena sudah tidak kuat lagi berjalan menanjak. Tapi tidak bagi Mike dan Artur, mereka jalanya cepat sekali istirahat cuman sebentar untuk minum seteguk air putih. Erwin dan Nina mengikuti ritme gerak jalan mereka, begitu juga aku. Kami jalan sangat cepat tergopoh-gopoh seperti nanti tidak kebagian melihat api biru dikarenakan mentari segera terbit. Kami melewati berkali-kali para pendaki yang kecapekan dan beristirahat di tepian jalan setapak. Bahkan ada juga yang pingsan akibat kehabisan nafas karena udara di gunung lebih tipis ditambah dinginnya angin malam yang berhembus kencang karena ini masih musim kemarau meski sudah masuk bulan Oktober tapi belum juga musim berganti.

Asap belerang yang mengenai bapak penambang

Akhirnya kami tiba di puncak Kawah Ijen kira-kira pukul 3:00 WIB. Subhanallah...ternyata di puncak udaranya lebih gila lagi. Angin berhembus kencang langsung masuk ke persendian tulangku. Aku seperti mati rasa. Aku tidak sanggup lagi meneruskan perjalanan ke dasar kawah untuk melihat Blue Fire yang fenomenal itu. Aku melihat banyak manusia yang tidak berniat melihat Blue Fire ke dasar kawah, mungkin di karenakan sudah kecapekan. Terlihat dari banyaknya manusia yang tidur dengan menggunakan sleeping bag atau selimut tebal di antara bebatuan Gunung kawah Ijen.

Gak kebayang jalan mendaki sambil bawa beban berat

Mereka mengajak turun kebawah, aku pikir memang harus turun ke dasar kawah karena sudah jauh-jauh ke Kawah Ijen masak tidak turun dan melihat Blue Fire. Akan jadi sia-sia perjalanan liburanku kali ini nantinya kalau aku tidak kuat naik turun. Kami beriringan turun kebawah dengan hati-hati karena medan kali ini sangat berbahaya. Salah melangkah saja nyawa taruhannya. Kalau tergelincir pasti akan jatuh ke bebatuan yang tajam-tajam dan besar. Langakah demi langkah aku pijak kan kakiku di antara batu pijakan di dinding kaldera setinggi 300-500 m yang sudah teratur jalurnya dengan terlihat adanya serpihan-serpihan batu belerang dari para penambang belerang. Kami juga harus mengalah bila ada penambang belerang yang lewat kami harus minggir dulu memberi kesempatan lewat para penambang belerang. Melihat beban yang di bawa sekitar 70Kg sampai 90kg dengan jarak tempuh 3 Km naik turun, sangat miris sekali bila mendengar harga jual belerang di pos Bundar tempat mereka menimbang belerang. Maka dari itu tak sedikit mereka para penambang yang kreatif membuat benda-benda souvenir dari batu belerang dan di jual di tawarkan kepada setiap para pendaki untuk menyambung hidup. Dengan model kura-kura, candi, atau bentuk abstrak mereka jual sekitar seharga Rp.5,000 - Rp.10.000 dari yang saya dengar.

Inilah penampakan Blue Fire

Sampai dasar Kawah Ijen. Suhu di sini lumayan hangat karena sudah mulai bersentuhan langsung dengan panasnya kawah dan kepulan asap belerang yang sangat berbahaya jika terhirup sampai kepernafasan. Sehingga sangat di sarankan memakai masker saat turun ke dasar Kawah Ijen. Sesekali angin bertiup sangat kencang membawa asap belerang menerpa para pengunjung, rasanya sangat panas sekali dan pedih di mata. Aku tidk kuat dengan baunya segera aku beranjak naik setelah proses syakral foto narsis. Tetep tidak ketinggalan prosesi itu. Hahahahaha....

Tetap narsis meski bahaya mengancam

Kami berpencar saat naik ke puncaknya lagi. Di karenakan semakin banyak para pengunjung yang ikut turun ke dasar kawah. Sampai di puncak lagi Erwin yang sudah naik duluan tidak di ketahui keberadaannya. Dalam keadaan gelap gulita kami tidak bisa menemukan sesosok Erwin kalau kami tidak berteriak-teriak memanggil nama “Erwin” dengan suara lantang. Sehingga jadi bulan-bulanan pengunjung yang merasa mengaku nama Erwin bilang “aku di sini” sambil cekikikan tertawa-tertawa. Kami memaklumi karena manusia sudah berjubel memenuhi puncak Kawah Ijen yang sebentar lagi matahari akan muncul malu-malu menyapa para fans gila yang dengan suka rela meluangkan malamnya untuk mendaki sejauh itu.

Foto dulu di tebing kaldera

Setelah menemukan Erwin kami terus naik ke puncak yang aku rasa view nya lebih bagus saat matahari bersinar. Jalan kami semakin di percepat sebentar lagi dia muncul di balik gunung. Aku tidak memikirkan kondisi kaki ku. Aku terus melangkah mengikuti langkah kaki para bule yang panjang-panjang. Dan akhirnya setelah di rasa sudah sampai puncak dari puncaknya Kawah Ijen, kami berhenti menikmati guyuran sinar mentari di pagi hari itu, sinar yang akan menghangatkan lagi badanku setelah semalaman aku menggigil kedinginan.

Narsis lagi di dinding kaldera

Tetap tak ketinggalan sesi pemotretan dari segala penjuru sedang di mulai. Kami tidak sendiri di sini banyak pendaki bermunculan ikut naik lagi ke puncak ingin melihat keindahan Kawah Ijen yang indah dengan di balut air kawah berwarna hijau toska dengan kandungan derajat keasaman di 0 (nol) memiliki kedalaman 200 m. Dengan keindahan tersebut jangan salah air tersebut sangat mematikan dan berbahaya jika jari kita celupkan kedalam air kawah pasti akan larut. Lagian kurang kerjaan ngapain nyelupin cari ke dalam kawah. Kali aja pengen coba pegang air hijau tersebut kok bagus berwaran hijau tosca gitu. Hahahaha....konyol.

Sudah mulai muncul mataharinya

Terbayar sudah jerih payah ku mendaki dengan jarak sejauh kurang lebih 3 Km dengan jalan yang terjal dan mendaki. Menikmati indahnya Kawah Ijen yang terhampar di atas ketinggian 2.368 mdpl. Sungguh indah. Aku masih ingin berlama-lama menikmati Kawah Ijen. Tapi apa yang terjadi...Si Mike buru-buru mengajak turun dengan alasan takut kemalaman sampai surabaya dan dirinya tidak bisa istirahat dengan nyenyak sedangkan besok pagi harus bekerja. Hello...Mister...kita saya juga bekerja, Erwin juga, kecuali Nina dan Artur. Jadi pasti saya juga harus balik ke Surabaya tapi tidak harus buru-buru kayak gini dong.

Rame-rame mengabadikan di atas puncak

Saat itu kaki kanan ku yang sedari tadi bertahan akhirnya sudah tidak bisa menahan lagi. Seperti otot nya di tarik kemudian di plintir begitulah rasanya sakit pada kaki ku yang aku rasakan saat itu ketika memulai untuk turun di jalanan menurun, di mana saat turun kaki lebih banyak menyangga berat tubuh. Aku tidak sanggup turun. Aku jatuh duduk memijiti kaki ku yang sakit. Aku menyadari beginilah resiko jika tidak pernah olah raga dan nekat mendaki gunung. Tapi aku menyangkal dengan alasan saat awalan pendakian tadi tidak ada pemansan sama sekali. Jalan di forsir cepat supaya sampai di puncak. Sehingga kaki ku cidera. Aku tidak sanggup turun jika dengan cara jalan secepat itu.

Erwin menemani Mike yang buru-buru turun dari Kawah Ijen. Jalan mereka sangat cepat dalam beberapa menit dua orang itu sudah hilang di balik kerumunan para pengunjung lainnya. Sedangkan Nina dan Artur tidak tega melihat kaki ku yang pincang dan memaksa untuk menemaniku sampai turun ke bawah. Sempat Artur menawari aku untuk di gendong dengan segera aku menolaknya karena malu di lihat banyak pengunjung. Masak cowok lemah naik gunung turunnya di gendong. Mau di taruh di mana mukaku? Apa aku nyemplung saja ke Kawah biar malu nya hilang. Hahahahaha....

Be careful Artur

Aku menyadari kalau makanan yang aku bawa tadi ada di dalam tas, dan tas itu kini raib bersama Erwin yang ikut terbawa turun. Aku mulai kelaparan, tak ada secuil roti atau cokelat yang aku selipkan di kantong jaketku. Semua ada dalam tas tadi. Gara-gara terlena mengagumi keindahan Kawah Ijen aku jadi melupakan makanan yang bisa menggajal perut di pagi hari yang dingin. Ya sudah lah lupakan, kini aku harus berusaha mati-matian turun dengan kaki kanan pincang.

Aku menyuruh mereka turun duluan biar aku jalan pelan-pelan saja, tapi mereka tidak mau meninggalkan aku sendirian. Mereka kasihan melihat aku berjalan pincang. Tapi maksudku biar mereka tida di bawah duluan dan bisa beristirahat duluan sambil makan sarapan dan minum minuman hangat. Mereka tetap tidak mau meninggalkanku sendirian, mereka berusaha mencari ranting yang bisa di buat tongkat untuk pegangan berjalan. Akhirnya nemu ranting yang agak besar dan bercabang, lumayan di pakai pegangan meski tanganku tidak nyaman memegang tongkatnya karena cabang itu tidak simetris. Dengan susah payah aku lalui perjalanan turun dimana pemandangannya juga bagus, karena saat naik tadi suasana masih gelap gulita. Mood ku untuk foto-foto sudah hilang dari atas puncak tadi saat otot kaki ku seperti robek. Sementara si Artur sesekali memotret pemandangan bagus saat di lewatinya. Sekitar hampir 2 jam - lebih lama 1 jam dari mendaki dini hari tadi - akhirnya sampai juga di bawah sekitar pukul 07:00 WIB dengan penampilan celana dan sepatuku yang sangat kotor dan dekil sekali. Kita bertiga langsung menuju warung Bu Im yang sangat terkenal di wilayah situ. Kami memesan 3 piring mi goreng dan masing-masing teh panas - bukan hangat seperti biasanya - dengan secawan gula untuk di seduh sendiri mengingat Artur tidak suka minuman terlalu manis.

Smile

Ketiga kita lagi asik menikmati mie goreng, lalu tiba-tiba muncullah si Mike. Mengatakan kalau menunggu kalian sangat lama sekali sehingga dia tertidur di dalam mobil dan bangun-bangun kalian masih juga belum datang. Dalam hatiku berkata Gila lu ya...masih enak elu bisa tidur dua jam di dalam mobil sementara aku susah payah turun dengan kaki pincang. Tak lama kemudian Erwin datang juga ikut bergabung dan memesan sepiring mie goreng untuk menganjal perut yang kelaparan. Kami ngobrol sambil menghabiskan mie goreng yang rasanya biasa saja bila kita berada di Surabaya tapi tidak kali ini, mie goreng ini sangatlah nikmat tiada tara.

Segera kami turun lagi ke kota Bondowoso mengetahui jam sudah menunjukkan pukul 08:00 WIB. Menurut jadwal yang aku rencanakan semula, setelah dari kawah Ijen kami akan ke Air terjun Blawan di kaki gunung Ijen. Tapi itu tidak mungkin terjadi mengingat kaki ku yang pincang serta hasrat Mike buru-buru segera balik ke Surabaya. Mungkin next time aku bisa mengunjungi Kawah Ijen lagi beserta wisata lainya di sekitaran kawah Ijen. Akhirnya kami putuskan untuk segera ke Terminal Bondowoso secepatnya. Masalah berikutnya, ternyata Bus PATAS dari Bondowoso menuju Surabaya hanya berangkat dua kali jalan kadang hanya satu kali jalan kalau penumpangnya sepi dan itu berangkat jam 3:20 WIB dan 08:55 WIB. Sesuatu yang sangat tidak mungkin tercapai. Sedangkan perjalanan Paltuding-Bondowoso memakan waktu kurang lebih 2 jam. Kami tadi berangkat dari paltuding jam 08:00 WIB dan sampai Terminal Bondowoso kurang lebih jam 10:00 WIB. So mau gak mau kita harus naik bus ekonomi dengan kedaan ala kadarnya dan banyaknya AC - Angin Cendela - berlimpah ruah.

Zoom in

Si bule Mike dengan tegas menolak tidak mau naik bus ekonomi yang jelas-jelas HOT. Kami bertanya pada pak Surya apakah ada Travel dari Bondowoso ke Surabaya? Dan jaabanya ada tapi harus pesan terlebih dahulu satu, dua atau tiga hari sebelumnya. Pak surya menyarankan travel temanya pak Surya sendiri mereka mepertimbangkanya terlebih dahulu sambil istirahat di warung dekat terminal. Aku dan Erwin jelas tidak mungkin ikut rombongan mereka karena yang pasti harganya sangat mahal. Dan itu aku ketahui belakangan setelah aku dan Erwin sudah berada di dalam bus ekonomi menuju Surabaya, mereka nego travel teman pak Surya dan akhirnya mendapat kesepakatan seharga Rp.700.000,-.

Sewaktu kita sampai di terminal Probolinggo aku dan Erwin tidak sempat beristirahat sejenak melepas lelah ataupun pergi mandi supaya badan segar kembali. Tapi itu tidak mungkin karena bus ekonomi AKAS segera berangkat jam 10:10 WIB. Sedangkan mereka bertiga sedang beristirahat di warung dekat terminal Bondowoso sambil hunting travel mungkin ada pilihan lainnya. Tapi aku dan Erwin sudah sepakat kalau kita tidak akan ikut balik ke Surabaya bersama rombongan mereka, dan itu sudah di bahas saat kita dalam perjalanan turun dari Paltuding ke terminal Bondowoso. Kita lebih memilih bus ekonomi yang jelas-jelas sudah pasti berangkat, harganya murah dan pasti jarak tempuh sama cuman beda waktu sedikit bus ekonomi kebanyakan ngetem dan naikin nurunin penumpang sewaktu-waktu. Tapi tetap kita yang sampai duluan di Surabaya karena perbedaan waktu keberangkatan kita dan mereka terpaut 3 jam.

Kawah Ijen aku akan datang lagi untukmu

Aku dan Erwin sampai Terminal Bungur Surabaya jam 16:00 WIB. Tempat penitipan motor kita lumayan agak jauh, dengan kaki yang masih sakit aku berjalan sekuat tenaga menuju tempat parkiran. Erwin aku suruh jalan duluan untuk mengambil motor. Secepatnya pulang ke rumah masing-masing untuk beistirahat memulihkan energi buat menghadapi hari senin besok yang sangat padat. Aku ingin tidur sepuasnya karena sudah sehari aku tidak tidur sama sekali. Setibanya kita di Surabaya Nina meminta maaf kepadaku karena gara-gara satu orang mengacaukan liburan. Aku pikir itu tidak masalah. Karena kaki ku juga sakit waktu itu jadi keputusan untuk segera balik ke Surabaya aku iyakan saja. Tapi ada perasaan yang masih belum puas yaitu ingin ke Kawah Ijen agak lama. Semoga liburan lain kali aku bisa ke kawah Ijen lagi.




15 comments:

  1. Beuh, keren gilaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...
    sayang, saya ga suka mendaki gunung. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah...kalau tidak suka mendaki tidak di sarankan liburan ke gunung. Hahahaha....

      Delete
  2. Beda tiketnya buat orang lokal sama asing jauh bgt ya? :D

    gambar gambarnya bikin jadi pengen ke sana Ar, belum pernah soalnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. pasti lebih bagus di sana mbak tempat wisatanya. Tapi tetep I Love Indonesia ya mbak.

      Delete
    2. Di tanah air juga tak kalah bagusnya wisatanya :)

      Delete
  3. Ijen elalu membuat jatuh hati, salut ama pekerja tambang nya :-)

    ReplyDelete
  4. 5000 dan 150000 itu terasa banget bedanya...., kalo begini trus..tentunya turis asing akan merasa ada diskriminasi...lalu bagaimana pariwisata indonesia mau berkembang,,,,kalo gaya kolonial membedakan turis asing dan lokal masih terjadi....
    keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

    ReplyDelete
  5. Wah aku pingin mrene.. Magical sekali ya pemandangannyaa...

    Kapan2 ah.. Ngenteni enek sing ngejak, asal gak mendadak ae hahah

    ReplyDelete
  6. thanks infonyaaaa :)
    salam kenal yaaa

    ReplyDelete
  7. perbedaan tiket domestik dan asing itu memang berlaku dimana mana. pernah bawa temen dari taiwan ke borobudur. aku udah bilangin jangan ngomong biar ga ketauan alien toh banyak wisdom yang bertampang chinese. eh di penjaga tiket dia malah ngajak ngobrol cangcingcong ke istriku. ketauan dah...

    eh kenapa malah curhat sendiri..?
    foto fotonya keren jadi pengen kesana...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya begitulah mas, kalau turis asing jauh sekali harganya.

      Ayo mas ke Kawah Ijen saya antarkan.

      Delete
  8. Ayo kita ke Ijen lagi bareng... :) saya belum pernah ke sana, nanti ngajak T deh. BTW, baca postingan tentang si Mike saya jadi emosi, dia sepertinya tidak sabaran dan agak egois yah ckckck, males banget kalau ketemu travel mate kayak begini....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Monggo mbak Feli, dengan senang hati saya akan mengantar mbak Feli dan suaminya.

      Delete